Holla!
It's been a while, since the last post. Lumayan kaget dengan pekerjaanku yang menyita tenaga, waktu dan pikiran, hohoho.
Kali ini akan sedikit mellow, tentang bagaimana aku menghadapi jarak dan waktu.
Hampir tiga tahun bersama, banyak yang dilalui, dari mulai kehidupan sama-sama sedang berkuliah, kemudian aku kerja dan dia masih kuliah, dan sampai sekarang sama-sama bekerja. Kita pada dasarnya memang tidak terlahir di kota yang sama, cuma ketemunya di kota ini, Bandung. Dia aslinya orang Jakarta, cuma kuliah aja di Bandung dan yup, ketemu aku di sini, pacaran deh.
Dipikir-pikir, waktu pacaran satu kota itu indah banget ya, enak banget, paling lama ga ketemu itu sekitar seminggu, sisanya pasti sempetin untuk ketemu-ketemu lucu.
Dulu jaman kuliah, jarak Jatinangor dan Cimbuleuit itu bukan halangan, dia sebisa mungkin jemput aku, masa-masa itu boros banget! Tapi ya masa-masa indah awal pacaran sih ya hihi, aku susah dikit pasti dijemput, aku pulang malem dikit pasti dijemput. Dia memang pada dasarnya orang yang sangat baik.
Setelah lulus, aku kerja dan dia kuliah, rutinitas itu masih berlangsung cuma memang ga se-intense masa-masa kuliah, paling dijemput seminggu dua kali, karena dia juga fokus skripsian dan aku juga ga mau terlalu menganggu, tapi untuk kencan selalu aja ada waktu. Paling tidak bertemu muka itu pasti. Entah aku nemenin skripsian, atau ya melepas kangen aja.
Masa-masa tersebut memang lama sih, sekitar dua tahun lebih, terlanjur nyaman sampai pada akhirnya kaget menghadapi kenyataan, dia pada akhirnya lulus dan kembali ke kota asalnya, Jakarta. Bersyukur banget dia ga nunggu lama dari kelulusan, langsung dapet pekerjaan, dan aku pikir sangat nyaman untuk personality-nya
Kami berkomitmen untuk selalu menjaga komunikasi, dan ga pernah juga terpikir tidak dapat menjalani hubungan jarak jauh ini, toh jaraknya cuman dua jam kan? Kami rasa bukan masalah besar, jarak bukan suatu hambatan untuk terus bersama. Hahaha.
Ternyata salah, jarak dan waktu itu ga bisa dianggap enteng, mereka berdua itu musuh buatku, entah ya buat dia. Pola komunikasi kami lambat laun berubah, karena dia kerja sampai malam, ya sekitar jam delapan malam, pulang sampe rumahnya, capek dan pasti ingin istirahat. Aku juga tidak segitu teganya bilang "nanti dulu tidurnya, aku pengen ngobrol". Tiap mau bilang gitu, cuman sampe tenggorokan, karena kalo ngebayangin capeknya jadi dia, ga tega aja. Kalau ada waktu untuk telponan, setelah lima belas menit dia bilang "aduh ngantuk", dan rasanya aku juga ga punya kuasa untuk bilang "bentar atuh kan baru sebentar ngobrolnya". Jadi, setelah itu dia pergi tidur dan aku pergi melamun, hahaha.
Sejujurnya aku tidak terlalu mempermasalahkan tentang komunikasi yang lambat laun berkurang, yang penting dia masih ada buatku, dia masih milikku. Itu cukup, sih.
Tapi, ternyata musuh satu lagi muncul, rasa iri. Iri juga ternyata masalah yang sangat besar ya, dan sangat kompleks, terkadang aku juga kesal sendiri dengan bagaimana dia menghabiskan larut-larut malam bersama teman-temannya, dan kadang aku merenung "kalau bisa ngobrol sampai larut malam begitu sama aku, asyik juga ya". Tapi, aku juga toh tidak bisa egois, dia juga butuh hiburan. Mengempani diriku sendiri bahwa everything will be okay, will be. Selama kami masih berkomunikasi, semua akan baik-baik saja.
Baru sadar, ternyata aku posesif, ga suka kalau ada yang mendapat atensi dari dia sebanyak itu, senggak suka itu, Setelah pola komunikasi yang mulai berkurang, "waktu" buatku juga berkurang, ternyata adalagi ya... Aku tidak ingin dia nyaman sama orang lain selain aku, titik. Tapi, ternyata ada. Masalah ini, leads us to something called "breaking up", sejujurnya dibenakku tidak pernah ada pilihan ini, terpikir pun tidak, tapi dibenak dia pilihan ini ada. Dan menurutnya, pilihan tersebut adalah pilihan terbaik yang bisa diambil, merasa kalah? Iya, tapi dia bilang "jangan dibandingkan".
After soooo many fights, soooo many tears and soooo many "we need to end up this relationship" came out from his mouth, aku menyerah, dan ikhlas kalau memang hubungan yang benar-benar aku pertahankan ini berakhir. Its okay, I told myself to be strong, dan ikhlas.
Akhirnya, kami memutuskan untuk paling tidak bertemu sebelum semuanya berakhir, perjalanan itu, perjalanan paling menyiksa seumur hidupku, Bandung-Jakarta yang paling menyiksa, sendirian dan memikirkan bahwa mungkin ini kali terakhir bertemu, setelah hampir tiga tahun bersama, setelah begitu banyak memori, akan berakhir. "Aku pasti jemput", dia bilang. Dia, masih menjadi orang yang sangat baik, sampai saat ini.
Selama perjalanan, aku melihat cincin pemberiannya, dan kata-kata tentang bagaimana dia ingin bersamaku selamanya, kala itu. Ternyata, aku tidak cukup kuat.
Kereta itu sampai ditujuannya, dan juga aku. Baru pertama kali aku takut bertemu orang yang selama ini aku tunggu kedatangannya, mungkin sebenarnya aku takut menghadapi kenyataan yang akan terjadi setelah kami bertemu. Atau, membayangkan apa aku bisa kembali "normal" setelah pertemuan ini.
Aku turun dari kereta itu, dengan, sungguh hati yang berat. Aku bilang aku sudah sampai. Aku menuruni tangga, juga sambil mencari dia.
Selama perjalanan, aku melihat cincin pemberiannya, dan kata-kata tentang bagaimana dia ingin bersamaku selamanya, kala itu. Ternyata, aku tidak cukup kuat.
Kereta itu sampai ditujuannya, dan juga aku. Baru pertama kali aku takut bertemu orang yang selama ini aku tunggu kedatangannya, mungkin sebenarnya aku takut menghadapi kenyataan yang akan terjadi setelah kami bertemu. Atau, membayangkan apa aku bisa kembali "normal" setelah pertemuan ini.
Aku turun dari kereta itu, dengan, sungguh hati yang berat. Aku bilang aku sudah sampai. Aku menuruni tangga, juga sambil mencari dia.
And, I saw him, from far away, looking for me, wearing his work shirt, tired yet worried face and I know that the exact moment he saw me, he still in love with me.
No comments:
Post a Comment